Kamis, 10 Maret 2016

Tahun 2023, Gerhana Matahari Terlangka



Warga menyaksikan gerhana matahari di Jembatan Ampera, Palembang, Sumsel. radar sumsel

Indopos.co.id–Siapapun yang menyaksikan langsung gerhana matahari total (GMT) Rabu (9/3) pagi, tidak akan menyesal. Sebab, pemandangan siang yang berubah menjadi gelap seakan malam itu membutuhkan waktu cukup lama terulang lagi di Indonesia.

Dari perhitungan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), setelah pagi ini, gerhana matahari total baru bisa terlihat lagi di Indonesia pada 20 April 2023 atau tujuh tahun lagi.

Kepala Lapan Thomas Djamaludin mengatakan, GMT bergerak dinamis. Artinya, tidak ada lintasan gerhana yang sama. Oleh sebab itu, setiap fenomena alam tersebut terjadi, sangat disayangkan kalau terlewat. ’’Setiap gerhana punya jalur tersendiri dan semua khas dengan jalur tertentu. Jadi, yang terjadi (pagi kemarin) harus kita amati dan nikmati,’’ jelasnya.

Thomas menyebutkan, gerhana matahari pada 2023 hanya akan melintasi Maluku dan Papua Barat. Jadi, upaya melihat langsung pada 2023 bakal lebih berat jika dibandingkan pada 2016. Sebab, cakupan wilayahnya jauh lebih sedikit. ”Selain cakupan wilayah yang lebih sempit, durasi gerhana matahari totalnya lebih singkat,” ungkap Thomas.

Durasi gerhana matahari total pagi ini rata-rata mencapai 3 menit 19 detik. Sementara itu, pada 2023, durasinya hanya mencapai 1 menit 50 detik. ”Tentu ini membuat gerhana matahari total 9 Maret 2016 lebih disarankan untuk diamati daripada menunggu tujuh tahun mendatang,” tambah Thomas.

Meski wilayah lintasan lebih sedikit, para astronom muda tidak perlu kecewa. Sebab, gerhana matahari pada 2023 adalah gerhana matahari hybrid. Menurut pengamat astronomi Madhonna Nur Aini, gerhana matahari hybrid adalah jenis gerhana matahari paling langka.

Perempuan yang akrab disapa Donna itu mengatakan, gerhana hybrid adalah perpaduan gerhana cincin dengan gerhana matahari total. ”Dalam satu kesempatan, terjadi gerhana matahari cincin dan GMT,” sebutnya. Jadi, setelah GMT yang memunculkan korona, terjadi gerhana matahari cincin dengan bentuk matahari yang terhalang bulan bulat seperti cincin.

Untuk diketahui, selama abad 21, Indonesia hanya akan dilintasi dua kali gerhana matahari hybrid. Pertama pada 20 April 2023 dan kedua pada 25 November 2049.

Setelah 20 April 2023, gerhana matahari total baru bisa terlihat lagi pada 20 April 2042. Menariknya, dua gerhana matahari total tersebut terjadi pada tanggal yang sama, yaitu 20 April. Karena itu, selisih keduanya bisa dinyatakan tepat bulat 19 tahun. Namun, di luar kesamaan tanggal tersebut, dua gerhana matahari total itu sama sekali berbeda. Salah satu bedanya, 2023 adalah gerhana matahari hybrid, sedangkan 2042 adalah ”murni” gerhana matahari total.

Perbedaan lainnya adalah gerhana matahari total 2023 hanya melintasi Indonesia bagian timur, sedangkan 2042 hanya melintasi Indonesia bagian barat. Wilayah yang dilintasi adalah Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, dan Kalimantan Barat. Artinya, cakupan wilayah yang dilintasi gerhana matahari total 2042 lebih luas daripada 2023, namun masih lebih sempit jika dibandingkan dengan 2016.

Yang juga menarik adalah meski pola lintasan gerhana matahari total berbeda, provinsi yang dilintasi pada 2042 adalah bagian dari provinsi yang dilintasi pagi ini. Itu menjadi kabar baik bagi provinsi-provinsi yang sekarang sedang merayakan gerhana matahari. Sebab, mereka akan merasakan setidaknya dua kali gerhana matahari total dalam waktu yang relatif singkat.

Durasi gerhana matahari total pada 2042 di Indonesia mencapai 3 menit 30 detik. Hampir sama dengan durasi gerhana matahari total 2016.

Hasil Riset Masih Lama

Kasubbag Publikasi dan Layanan Informasi Publik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Mega Maedita mengatakan hasil riset GMT kemarin tidak bisa seketika itu keluar. Dalam sebuah proses riset atau penelitian, momen GMT kemarin seperti menjadi agenda pengumpulan data. “Setelah itu baru dianalisis di kantor Lapan di Jakarta atau di Bandung,” katanya kemarin.

Mega bertugas mewakili Lapan di pantai Tanjung Kelayang. Dia mengatakan hanya bertugas sebagai pemantau saja, bukan peneliti. Lapan tidak menjadikan Tanjung Kelayang sebagai lokasi penelitian gerhana Matahari. Lapan hanya melakukan penelitian di Benteng Tolukko, Ternate dan Maba, Halmahera Timur.

Mega mengatakan nantinya masing-masing periset akan membawa hasil pengamatannya untuk dilakukan analisis. “Mungkin butuh waktu beberapa bulan. Tapi pasti akan kami publikasi,” jelasnya. Dia juga belum bisa memastikan apakah tim periset mengalami kesulitan penggalian data, karena kendala cuaca di lokasi penelitian.

Dosen astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB) Dhani Herdiwijaya memilih cara “ekstrim” dalam mengamati GMT kemarin. Dia memutuskan tidak memantau dari pantai Tanjung Kelayang seperti rencana semula. Beserta istri dan anaknya, dia memilih naik perahu dan menempuh perjalanan 30 menit menuju pulau Lengkuas untuk melihat GMT.

Di daftar destinasi wisata Belitung, pulau Lengkuas cukup ikonik karena terdapat menara yang menjulur setinggi 65 meter. Menara ini terdiri dari 18 tingkat dan dilengkapi 313 anak tangga. “Saya berangkat menuju pulau Lengkuas sekitar pukul 05.00,” jelasnya.

Dhani mengatakan meluncur ke pulau Lengkuas tujuannya supaya bisa mengamati lebih sempurna. Sebab ketika dia mengijakkan kaki di pantai Tanjung Kelayang, awan terlihat cukup tebal. Namun setelah sampai di pulau Lengkuas, awan masih setia mengiringi gerhana matahari.

“Yang sangat saya kecewakan, puncak gerhana hanya bisa diamati sempurna selama beberapa detik,” jelasnya. Sebab pada puncak peristiwa GMT itu, awan dari sudut pandang pulau Lengkuas juga tebal. Setelah awan tebal itu bergeser, GMT sudah memasuki fase menuju akhir gerhana.

Terlepas dari hambatan melihat puncak GMT, Dhani mengatakan sebagian besar durasi gerhana teramati dengan jelas. Khususnya fase dari puncak gerhana menuju akhir. Pasalnya pada puncak ini, awan mulai tipis dan matahari posisinya semakin tinggi. Sedangkan untuk fase awal sampai puncak gerhana, lebih sering tertutup awan.

Untuk urusan pengamatan korona, dia mengatakan hampir sama dengan prediksi sebelumnya. Yakni korona yang tampak saat puncak GMT tidak terlalu tebal. Dia menjelaskan kecenderungan kondisi korona memang cukup stabil dalam waktu yang berdekatan. Dia menjelaskan beberapa hari sebelum terjadi GMT, pusat pemantauan matahari internasional yang berbasis di Hawai telah mengeluarkan prediksi korona saat terjadi GMT.

Co-Founder www.jejaklangit.com Madhonna Nur Aini mengatakan, mereka memantau GMT di pantai Burung Mandi, Belitung Timur. Meskipun cuaca mendung, tapi tim jejak langik bisa merekam time lapse terjadinya GMT. “Kami juga berhasil mengabadikan diamond ring dan sejumlah foto momen matahari sabit,” kata dia.

Perempuan yang akrab disapa Donna itu merasa dibantu Tuhan jelang detik-detik totalitas gerhana. Sekitar dua menit sebelum puncak gerhana, mendadak ada mensung. Nah mendung ini ternyata membantunya melakukan pengamatan gerhana secara langsung. Tanpa menggunakan kacamata filter. Ketika langit gelap, dia mengatakan posisi pelanet Venus juga terlihat.

“Secara keseluruhan mendung memang merusak pengamatan. Tapi kami puas dengan hasil pengamatan,” pungkasnya

                                                                                                                     (http://www.indopos.co.id)


EmoticonEmoticon